Interpreter, Penerjemah

Kepuasan Penerjemah, Bukan Berarti Kepuasan Pelanggan

Pada masa-masa awal menjadi juru bahasa (jurbah), saya pernah bekerja di sebuah pabrik komponen otomotif. Saya berusaha untuk menghafal istilah-istilah di pabrik tersebut karena sama sekali berbeda dengan latar belakang pendidikan saya.

Dalam suatu meeting, saya sangat senang karena dapat menerjemahkan semua dengan lancar. Ya, saya ingat semua istilahnya! Namun, saya perhatikan raut muka orang-orang tampak tidak puas. Padahal materi yang disampaikan bukanlah keluhan, melainkan berbagi informasi saja.

Sampai pada akhirnya, salah seorang memotong terjemahan saya dan berkata, “Maaf, bisa tolong sampaikan dengan lebih jelas? Saya dari tadi mendengar istilah yang asing semua. Coba diterjemahkan pakai bahasa yang biasa dipakai di sini.”

Beberapa tahun kemudian, saya menjadi penerjemah lepas komik. Saya berusaha menerjemahkan sebaik-baiknya agar sesuai dengan aslinya. Saya pun puas ketika berhasil menerjemahkan suatu istilah budaya Jepang ke dalam bahasa Jepang.

Setelah komik tersebut terbit, adik saya berkomentar, “Kalau yang baca pernah ke Jepang, mungkin bisa mengerti maksudnya. Kalau orang Indonesia pada umumnya pasti bingung dengan terjemahan ini.”

Ketika melanjutkan S2 dan mengikuti mata kuliah penerjemahan, almarhum Prof. Benny Hoed menjelaskan bahwa penerjemahan yang baik adalah penerjemahan yang berterima, bukan penerjemahan yang benar. Sekali pun hasil terjemahan benar sesuai dengan teks sumber, jika pembaca tidak memahaminya, hasil terjemahan itu tetap akan dinilai buruk oleh pembaca.

Itulah yang terjadi pada saya sebelumnya. Kedua pengalaman pribadi di atas adalah cerita tentang kepuasan saya karena telah menerjemahkan dengan benar. Saya hanya memikirkan diri saya dan sudah puas sebagai penerjemah karena berhasil menerjemahkannya. Sama seperti seorang mahasiswa yang berhasil menjawab soal ujian yang sulit. Saya tidak memikirkan bahwa ada orang yang akan membaca atau mendengarkan hasil terjemahan saya.

Proses penerjemahan bukan berakhir di tangan penerjemah atau jurbah, melainkan di tangan pembaca atau pendengarnya. Penerjemahan adalah sebuah jasa. Jika dilakukan dengan imbalan uang, berarti jasa tersebut adalah sebuah bisnis jasa profesional yang memiliki pelanggan. Agar bisnis dapat terus bertahan, pelaku bisnis harus memperhatikan kepuasan pelanggannya.

Dalam konteks jasa penerjemahan, kepuasan pelanggan dapat diukur dari keberterimaan hasil terjemahan. Pada contoh pengalaman saya yang pertama, saya berusaha untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal istilah-istilah yang digunakan di pabrik tersebut kebanyakan menggunakan bahasa Inggris dan Jepang. Pada contoh pengalaman yang kedua, saya berusaha untuk tidak mengubah istilah khas Jepang-nya. Padahal kebudayaan tersebut sangat asing di Indonesia.

Penerjemah atau jurbah harus mengetahui siapa pembaca atau pendengarnya. Dengan begitu, penerjemah atau jurbah dapat mencari strategi yang tepat agar hasil terjemahannya berterima. Bisa jadi dalam prosesnya membutuhkan upaya ekstra yang menguras waktu, tenaga, dan biaya. Namun, sekali lagi, semua itu adalah demi kepuasan pelanggan.

Interpreter

Penjurubahasaan Simultan dan Konsekutif: Bagaikan F1 dan Le Mans 24 Jam

Secara umum, penjurubahasaan dibagi menjadi dua, yaitu juru bahasa simultan dan konsekutif. Sebenarnya masih ada satu lagi, yaitu whispering, tetapi prinsip yang digunakannya dapat dimasukkan ke dalam dua jenis yang pertama.

Penjurubahasaan simultan sering dianggap sebagai jenis penjurubahasaan yang lebih “mentereng” karena memerlukan kemampuan untuk menerjemahkan hampir bersamaan dengan ketika pembicara berbicara.

Namun, sebenarnya kemampuan yang dibutuhkan antara penjurubahasaan simultan dan konsekutif adalah berbeda sehingga tidak bisa dikatakan bahwa yang satu lebih superior dibandingkan yang lainnya. Ini ibaratnya adalah seperti balapan F1 dan Le Mans 24 Jam, keduanya sama-sama mengemudi, tetapi kemampuan mengemudi yang diperlukannya masing-masing berbeda.

Photo by Markus Spiske on Pexels.com

Kemampuan utama yang diperlukan oleh seorang juru bahasa (jurbah) simultan adalah kemampuan memprediksi isi yang akan dibicarakan. Jurbah simultan biasanya akan mendengar sepenggal kalimat dari pembicara untuk langsung diterjemahkan seraya memprediksi apa yang akan disampaikan berikutnya. Dengan cara demikian, jurbah dapat menyampaikan terjemahan yang berterima.

Sedangkan kemampuan utama yang diperlukan oleh jurbah konsekutif adalah kemampuan untuk mencatat isi pembicaraan. Jurbah tidak dapat memperkirakan kapan pembicara akan selesai berbicara dan sangat mengandalkan catatannya agar dapat menerjemahkan secara akurat.

Dari segi daya tahan, penjurubahasaan simulatan adalah seperti mobil F1, sedangkan penjurubahasaan konsekutif adalah seperti mobil Le Mans.

Mobil F1 digunakan untuk balapan yang jumlah putarannya telah ditentukan. Komponen mobilnya ditingkatkan sedemikian rupa, tetapi bukan untuk jangka panjang. Penjurubahasaan simultan juga demikian. Jurbah simultan hanya mampu menerjemahkan maksimal 30 menit karena kegiatan ini sangat menguras otak. Untuk acara-acara yang panjang seperti konferensi atau seminar, biasanya diperlukan 2-3 jurbah yang bekerja secara bergantian.

Mobil Le Mans dirancang agar tahan untuk melakukan balapan selama 24 non-stop. Beberapa komponennya ada yang diganti selama balapan, tetapi kebanyakan komponennya dibuat sedemikian rupa agar memiliki daya tahan yang tinggi. Jurbah konsekutif juga memerlukan daya tahan yang tinggi karena umumnya tidak disediakan pengganti. Ada kalanya juga jurbah harus mengikuti perjalanan yang menguras tenaga sesuai jadwal pembicara.

Mengetahui perbedaan ini sangat penting agar pengguna jasa dapat mengetahui jenis penjurubahasaan apa yang menjadi kebutuhannya. Sungguh sangat sayang jika mobil F1 (jurbah simulatan) digunakan untuk balapan Le Mans (kegiatan panjang yang membutuhkan daya tahan). Tidak cocok juga jika mobil Le Mans (jurbah konsekutif) digunakan untuk balapan F1 (kegiatan yang sangat singkat).

Konsekuensi yang paling jelas adalah biaya. Penjurubahasaan simultan bagaikan balapan F1 yang memakan banyak biaya karena memerlukan peralatan (booth jurbah, transmisi, dan alat pendengar) dan orang yang banyak (beberapa jurbah dan teknisi peralatan).

Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi untuk memilih jenis penjurubahasaan yang dibutuhkan.

Interpreter

Pede Sepede Sherlock Holmes

Saya suka membaca cerita detektif. Novel bertemakan detektif-detektifan pertama yang saya baca adalah serial pertualangan STOP yang bercerita tentang empat orang siswa SMP memecahkan kasus kriminal yang terjadi di kota mereka.

Ketika SMA, saya mulai membaca komik Detektif Conan yang masih saya baca sampai sekarang (karena masih belum tamat-tamat juga ^^;). Gara-gara komik itu, saya menjadi penasaran dengan tokoh Sherlock Holmes yang sangat diidolakan oleh Shinichi Kudo.

Sherlock Holmes digambarkan sebagai tokoh yang sangat sombong karena pengetahuannya luas. Di sisi lain, dia juga seorang yang sangat memperhatikan detail sehingga bisa mengetahui latar belakang seseorang hanya dengan melihat. Kemampuannya itu diperlihatkan dalam novel pertamanya ketika pertama kali bertemu dengan rekannya, Dr. Watson.

Sherlock Holmes juga digambarkan sebagai sosok yang pede alias percaya diri. Khususnya pada saat akan mengungkap pelaku kejahatannya. Dia akan menceritakan terlebih dahulu analisisnya secara deduksi hingga akhirnya menyimpulkan siapa pelakunya.

Seorang juru bahasa (jurbah) juga harus memiliki kepercayaan diri pada saat menjalankan tugasnya. Bagaimana pun juga, pendengar akan lebih memperhatikan jurbah dibandingkan pembicara aslinya karena mereka tidak memahami bahasa sang pembicara (untuk itulah fungsinya jurbah). Apabila jurbah tidak pede, dampaknya langsung yang terasa adalah hilangnya kepercayaan terhadap jurbah tersebut.

Langkah pertama untuk meningkatkan rasa pede bisa dimulai dari memiliki pengetahuan terhadap materi atau tema yang akan diterjemahkan. Dengan memiliki bekal pengetahuan, jurbah dapat menyampaikan hasil terjemahannya dengan luwes dan tidak kaku karena bukan sekadar mengganti kata-kata dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

Langkah yang kedua adalah mempelajari materi yang diberikan. Namun, ada kalanya user atau klien tidak memberikan materi untuk dipelajari. Apabila seperti itu, usahakan untuk mendapatkan gambaran secara umum mengenai tema apa yang akan diterjemahkan. Informasi yang sedikit tersebut dapat dikembangkan dengan melakukan riset secara mandiri di internet.

Langkah yang ketiga adalah fokus pada hal yang diketahui. Kemungkinan untuk lupa, tidak tahu, atau tidak kedengaran dapat saja terjadi. Apabila terjadi hal seperti itu, jangan panik dan fokus pada hal-hal yang diketahui atau terdengar saja. Bisa saja pada saat-saat akhir menerjemahkan, akan muncul petunjuk lain yang membantu untuk menyampaikan pesannya.

Langkah terakhir adalah hilangkan intonasi yang meragukan. Usahakan agar setiap kalimat diakhiri dengan jelas. Jangan sampai akhir kalimat terdengar seperti mengambang atau bertanya.

Photo by Prateek Katyal on Pexels.com

Ungkaplah pesan pada bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pede seperti halnya Shelock Holmes mengungkap sang pelaku kejahatan ^_^

Interpreter

Note-taking ala Prison Break

Beberapa waktu yang lalu, saya akhirnya menonton season terakhir dari serial Prison Break. Saya sendiri baru tahu kalau sebenarnya serial ini sempat berakhir pada tahun 2008, tetapi kemudian dibuat seri revival-nya pada tahun 2017 sebanyak 9 episode.

Bagi yang tidak tahu serial ini, Prison Break menceritakan tentang seorang insinyur struktur bangunan yang hendak membebaskan kakaknya dari penjara. Dia mentato tubuhnya dengan peta, denah, dan berbagai petunjuk yang dikamuflase bagaikan gambar seni. Dengan cara itu, dia tidak perlu menghafal rencana pelariannya yang rumit.

Dalam dunia penjurubahasaan pun, khususnya konsekutif, sering kali menemukan situasi pembicara berbicara panjang lebar sehingga sulit untuk mengingat semua perkataannya. Untuk menanggulangi hal tersebut, biasanya juru bahasa (jurbah) akan mencatat dengan teknik yang disebut note-taking.

Photo by Pixabay on Pexels.com

Jurbah tidak mencatat semua hal yang diucapkan oleh pembicara. Sama halnya dengan tokoh dalam Prison Break, hal-hal yang dicatat hanya kata-kata kuncinya saja. Biasanya, kata-kata kunci tersebut terdiri dari subjek, predikat (kata kerja), objek, dan kata keterangan seperti angka, tempat, nama.

Agar dapat menulis dengan cepat, biasanya kata-kata kunci tersebut tidak ditulis secara utuh, tetapi ditulis dengan cara disingkat atau dibuat menjadi simbol. Singkatan dan simbol yang dibuat dapat berupa sesuatu yang umum seperti “jkt” untuk “Jakarta”, “ASAP” untuk secepatnya, atau “&” untuk “dan”.

Tidak jarang jurbah menciptakan singkatan atau simbol sendiri agar dapat menulis dengan cepat. Salah satu simbol yang sering digunakan adalah tanda panah. Contohnya, tanda panah ke atas (↑) digunakan sebagai pengganti kata “naik” atau “di atas”. Pada saat membuat sendiri, usahakan untuk membuat sesuatu yang dapat ditulis dengan cepat agar tidak kesulitan pada saat benar-benar membuatnya.

Membuat singkatan atau simbol yang unik bisa dikatakan susah susah gampang. Dalam serial Prison Break pun, sang tokoh utama baru bisa menentukan desain tatonya setelah mempelajari dan merencanakan dengan saksama rencana pelariannya. Hal ini juga bisa berlaku bagi jurbah. Dengan mempelajari terlebih dahulu materi yang akan diterjemahkan, jurbah akan lebih mudah menentukan apa yang dapat disingkat dan dibuat simbol serta makna dari singkatan dan simbol yang dibuatnya tersebut.

Selain itu, biasanya jurbah akan mulai terbiasa membuat singkatan atau simbol yang unik jika sering menerjemahkan satu tema tertentu secara berulang-ulang karena biasanya akan tahu istilah atau kalimat apa saja yang sering digunakan.

Silakan lihat video Youtube ini bagi yang mau melihat contoh mencatat dengan teknik note-taking.

Aplikasi, Interpreter

Berbagai Media Telekonferensi: Skype, Hangout, dan Zoom

Kemajuan teknologi sangat membantu agar orang tetap dapat “bertatap muka” walaupun melalui dunia maya. Saya sudah menggunakan Skype sejak masih kuliah di Jepang. Kecepatan internet yang masih terbatas pada saat itu memang tidak dapat menampilkan video yang jernih, khususnya ketika melakukan panggilan ke Indonesia. Namun, tetap saja sudah terasa luar biasa pada saat itu.

Ketika itu, sama sekali tidak terpikir bahwa nantinya akun Skype tersebut akan digunakan juga dalam pekerjaan. Satu hal yang saya syukuri adalah tidak membuat akun dengan nama yang “alay”. Pada saat awal-awal bekerja sama dengan agensi luar negeri, cukup sering komunikasi dilakukan menggunakan Skype. Namun, fitur yang lebih sering digunakan adalah fitur chat dibandingkan video call. Beberapa kali juga menggunakan fitur panggilan audio untuk virtual meeting dengan agensi dan user.

Sejak pandemi Covid-19 dan adanya himbauan untuk bekerja di rumah (WFH), bertambahlah aplikasi telekonferensi yang saya gunakan. Selain Skype, saat ini saya menggunakan Hangout dan Zoom. Aplikasi Hangout biasanya saya pakai untuk melakukan kuliah jarak jauh dengan mahasiswa saya. Sedangkan untuk pekerjaan, saat ini kebanyakan user meminta untuk menggunakan Zoom. Sejauh ini belum ada kendala yang berarti. Internet yang digunakan stabil sehingga kualitas suara maupun videonya bagus.

Hmm, apakah nantinya akan ada aplikasi lain lagi yang akan nge-tren?

Interpreter

“Normal” yang Baru

Sejak mewabahnya Covid-19, saat ini banyak orang yang bekerja dari rumah (WFH). Dalam beberapa minggu terakhir ini pun, banyak artikel mengenai tips-tips agar tetap dapat bekerja secara efektif dari rumah. Karena sudah berlangsung selama beberapa minggu, tidak sedikit yang mengatakan bahwa WFH sudah menjadi suatu hal “normal” yang baru.

Sebagai juru bahasa, saya pun merasakan hal yang baru. Sudah beberapa kali saya menerima pekerjaan juru bahasa melalui telekonferensi. Sebenarnya, remote interpreting atau penjurubahasaan jarak jauh bukanlah sesuatu hal yang baru. Mungkin yang paling umum adalah telephone interpreting atau penjurubahasaan melalui telepon. Di Jepang, beberapa department store atau stasiun juga menerapkan penjurubahasaan jarak jauh melalui tablet untuk melayani pelanggan.

Dalam situasi yang masih sulit untuk bekerja dengan tatap muka, beberapa agen penerjemahan mulai menawarkan juru bahasa, yang tadinya bekerja ke lokasi, untuk bekerja dari rumah. Tentunya ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan agar dapat menjalankan penjurubahasaan jarak jauh dengan baik.

Hal pertama yang perlu disiapkan adalah koneksi internet. Bukan hanya terhubung, tetapi harus memiliki koneksi yang stabil agar dapat mendengar dan menyampaikan penerjemahan dengan baik. Hal kedua adalah perangkat. Komputer dapat menjadi pilihan pertama, walaupun tablet dan ponsel cerdas juga sudah cukup mumpuni, dilengkapi dengan headset dan mic. Hal yang ketiga adalah lingkungan. Juru bahasa mungkin dapat mendengar dengan baik karena menggunakan headset. Namun, harus memperhatikan juga suara yang ada di sekitar agar jangan sampai suara lain seperti suara kendaraan di luar, suara orang di rumah, suara TV, dan sebagainya juga ikut terdengar orang lain.

IMG_6335Situasi saat ini memang menjadi tantangan tersendiri. Namun, ini juga bisa menjadi kesempatan untuk mendapatkan keterampilan baru yang berguna di masa depan. Selain itu, ini juga bisa menjadi kesempatan untuk mencoba memasuki bidang bisnis baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Interpreter

Berubah Mengikuti Perkembangan Zaman

Ada segmen Profil CEO dalam Harian Kompas edisi Senin, 18 Maret 2019 menampilkan Presiden Direktur Astra Grup Prijono Sugiarto yang bercerita mengenai perusahaan perlu adaptif, trengginas, dan inovatif agar mampu menghadapi tantangan. Beliau mencontohkan Astra yang tadinya memiliki porsi bisnis otomotif sebanyak 90% pada tahun 2001, kini menjadi sekitar 39%. Saya juga pernah mendengar langsung mengenai perubahan yang dilakukan oleh Fujifilm setelah bisnis film foto tidak lagi laku dengan semakin populernya kamera digital dan ponsel yang dapat digunakan juga untuk memoto.

Apa yang dilakukan oleh kedua contoh perusahaan tersebut adalah dalam rangka mempertahankan bisnis untuk tetap berjalan, sekalipun tantangan yang dihadapi dan kegiatan usaha yang dilakukan berbeda dengan pada saat awal berdirinya perusahaan.

Menurut saya, dunia penjurubahasaan Jepang-Indonesia pun mengalami berbagai macam tantangan dalam 10 tahun ini. Saya masih ingat sekitar tahun 2010, ketika itu banyak perusahaan manufaktur Jepang yang ekspansi ke Indonesia. Kawasan industri sepanjang jalan tol Cikampek pun menjadi semakin ramai. Permintaan juru bahasa Jepang untuk mendampingi survei lokasi pabrik, pengurusan izin, rekrutmen karyawan baru, dan hal-hal yang berhubungan dengan pendirian perusahaan sangat ramai.

Dua atau tiga tahun setelahnya, kali ini ramai dengan isu demo pekerja. Menjadi juru bahasa di antara dua pihak yang bertantangan menjadi pengalaman tersendiri karena di luar kemampuan berbahasa, kemampuan berkomunikasi, mengontrol emosi, dan menunjukkan sikap yang tidak berpihak adalah hal yang harus dimiliki dalam situasi tersebut.

Pada tahun 2014-2015, industri otomotif Indonesia menjadi lesu. Saya juga turut merasakan dampaknya karena mendapat cukup banyak pembatalan job juru bahasa dari pabrik-pabrik Jepang karena alasan efisiensi biaya.

Namun, di saat yang bersamaan, industri pariwisata justru sangat menggeliat. Apalagi Tokyo telah ditetapkan sebagai tuan rumah Olimpiade 2020 sehingga Jepang sangat giat untuk menarik wisatawan asing datang ke Jepang. Salah satu bentuk keseriusan tersebut adalah dengan mengajak 1.000 pelaku usaha industri Jepang ke Indonesia dalam rangka melakukan promosi wisata Jepang (https://www.id.emb-japan.go.jp/news15_46.html). Konon, kegiatan tersebut menjadi ‘panen raya’ bagi para juru bahasa Jepang karena permintaannya yang banyak. Bahkan karena kehabisan ‘stok’ juru bahasa Jepang-Indonesia, siapa pun yang bisa bahasa Jepang diajak untuk terlibat dalam rangkaian acara tersebut.

Dalam 2-3 tahun terakhir ini, permintaan juru bahasa yang berhubungan dengan bisnis dan pemerintah semakin meningkat. Hal ini konon dipacu oleh berkurangnya investasi langsung, tetapi semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan SDM dan kerja sama teknis.

Bercermin dari Astra dan Fujifilm seperti pada contoh di atas, menurut saya seorang juru bahasa, khususnya juru bahasa lepas, pun harus bisa berubah mengikuti zaman. Jika dulu cukup hanya memiliki pengetahuan mengenai gemba, kini akan lebih baik jika memiliki pengetahuan juga mengenai manajemen perusahaan, khususnya bidang legal dan akuntansi. Pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah, baik Indonesia dan Jepang juga sebaiknya dimiliki agar dapat membaca tren perubahan atau tantangan yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Bagaimana pun juga, pada akhirnya menjadi juru bahasa lepas sama dengan melakukan usaha. Sebuah usaha yang dilakukan secara profesional oleh individu seperti halnya pengacara atau dokter praktik. Agar usahanya dapat berjalan dengan lancar, tentunya perlu membuat strategi. Salah satunya adalah dengan membaca peluang pasar dan menyiapkan pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapinya.

Interpreter

Juru Bahasa Bukanlah Kamus Berjalan

Istilah khusus atau senmon yogo sering kali menjadi momok bagi juru bahasa pemula. Banyak yang merasa takut untuk memasuki bidang baru karena tidak tahu istilah-istilah khusus yang biasa digunakan dalam bidang tersebut. Dalam beberapa forum di media sosial pun tidak sedikit yang meminta untuk berbagi daftar istilah khusus bagi yang memilikinya. Namun, apakah jika seorang juru bahasa memiliki daftar istilah khusu tersebut, penjurubahasaannya akan menjadi lebih baik?

Mungkin jawabannya tidak serta merta dapat dikatakan lebih baik. Memiliki daftar istilah khusus memang membantu untuk mengenai padanan kata dalam bahasa sasaran, tetapi yang sering dilupakan adalah bagaimana cara menyampaikannya dalam bahasa sasaran. Sering kali juru bahasa ‘terjebak’ dengan daftar istilah yang dimilikinya sehingga menjadi tidak fleksibel dalam penyampaiannya.

Hal yang paling penting dalam penjurubahasaan adalah menyampaikan pesan dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pesan di sini dapat bersifat eksplisit maupun implisit. Mungkin tidak akan ada masalah jika pembucara menyampaikan dalam kata-kata yang eksplisit, tetapi bagaimana jika penyampaiannya dilakukan secara implisit? Apakah mungkin seorang juru bahasa hanya ‘mengganti’-nya dalam bahasa sasaran tanpa memeduli pesan yang hendak disampaikannya?

Jawabannya tentu saja tidak. Sangat penting bagi juru bahasa untuk memahami lebih dalam dari kata-kata maupun kalimat-kalimat yang disampaikan dalam konteks tertentu. Pemahaman tersebut justru lebih penting dari sekadar menghafalkan istilah-istilah khusus. Dengan begitu, juru bahasa akan lebih fleksibel dalam menyampaikan pesan tanpa ‘terkekang’ oleh struktur bahasa maupun nuansa dalam bahasa sumber.

Bahasa Jepang adalah bahasa yang, menurut saya, dapat membuat pendengarnya mudah salah paham. Mulai dari pelafalan kata yang sama, tetapi berbeda huruf kanji sehingga maknanya berbeda, kalimat yang kadang tidak memiliki subjek atau verba, hingga onomatope yang spesifik. Kemudian, tantangannya adalah bagaimana menyampaikan hal-hal tersebut ke dalam bahasa Indonesia yang kosa katanya tidak sekaya bahasa Jepang. Inilah yang membuat juru bahasa tidak bisa mengandalkan daftar istilah saja karena juru bahasa bukanlah kamus berjalan.

Saat ini memang belum ada pelatihan penerjemahan khusus untuk pasangan bahasa Jepang-Indonesia. Memupuk pengalaman dengan menambah jam terbang menjadi jalan terbaik untuk memperbaiki diri. Akan lebih baik juga jika bertanya kepada user tentang penjurubahasaan yang kita lakukan. Biasanya, user cukup terbuka untuk memberikan masukan karena mereka memang membutuhkan juru bahasa yang mampu menyampaikan pesan dengan baik.

Interpreter, Uncategorized

(Jangan) Menilai Buku dari Sampulnya

Alkisah Abu Nawas diundang oleh raja untuk makan di istana. Abu Nawas pun berangkat memenuhi undangan tersebut dengan mengenakan pakaian sekadarnya. Sesampainya di istana, penjaga gerbang menahannya dan menanyakan keperluannya.

“Saya datang diundang oleh raja”, jawab Abu Nawas.

“Maaf, tolong kenakan pakaian yang lebih pantas jika hendak masuk ke dalam istana”, pinta sang penjaga.

Abu Nawas pun kembali ke rumahnya dan berganti pakaian. Kali ini dia mengenakan pakaian paling bagus yang dimilikinya. Penjaga yang melihat Abu Nawas telah berganti pakaian pun puas dan mengizinkannya untuk masuk ke dalam istana.

Abu Nawas kemudian masuk ke ruang jamuan dan menunggu makanan dihidangkan. Setelah itu, dia mengambil piring yang berisi makanan tersebut dan menumpahkannya pada bajunya. Raja dan para tamu lain terkejut melihat perbuatannya.

“Apa yang kau lakukan, Abu Nawas?”, tanya sang raja.

“Aku memberi makanan pada pakaianku, wahai raja”, jawab Abu Nawas.

“Kenapa kau melakukan hal itu?”

“Karena aku diizinkan masuk ke sini setelah berganti pakaian. Itu artinya, pakaianku lah yang diundang, bukan diriku”.

 

————————————-

Berbeda dengan penerjemah simultan yang bekerja di dalam bilik, penerjemah konsekutif umumnya bekerja berdampingan dengan pembicaranya. Sehingga, mata para pendengar akan tertuju kepada sang penerjemah ketika dia berbicara.

Para klien atau user pun memiliki harapan agar rupa penerjemah sesuai dengan harapan mereka. Tidak jarang diantara mereka yang sejak awal telah memberitahukan persyaratan fisik yang mereka cari. Dalam beberapa forum seperti grup Facebook atau Whatsapp, ada rekan-rekan penerjemah yang mengeluhkan persyaratan seperti ini.

“Penerjemah, ‘kan, yang penting kemampuannya. Memangnya fisik berpengaruh pada kemampuan penerjemah?”

Itu adalah tanggapan paling umum ketika melihat lowongan penerjemah yang mencantumkan persyaratan fisik harus menarik.

Dulu pun saya berpikir seperti itu, hingga ada kejadian yang membuat saya berpikir ulang mengenai makna ‘fisik’ tersebut. Ketika itu saya sedang dikontrak oleh sebuah pabrik selama beberapa bulan dalam rangka persiapan ISO. Pakaian yang dikenakan di sana adalah seragam kerja. Setiap pagi para karyawannya datang dengan pakaian bebas, kemudian menukarnya dengan seragam kerja di ruang loker.

Awalnya saya datang dengan T-shirt yang apa adanya dan juga memakai sepatu kets biasa. Suatu saat salah seorang staf berkata kepada saya, “Saya perhatikan Pak Hanif selalu memakai T-shirt biasa setiap datang ke sini. Sayang, lho, pak. Saya tidak tahu berapa honor bapak, sih, tapi saya yakin honornya besar. Seharusnya bapak pakai pakaian yang lebih rapi, supaya kelihatannya pantas”.

Saya terkejut juga dengan ucapannya. Saya perhatikan staf tersebut memang selalu berpakaian rapi ketika datang. Dia selalu mengenakan kemeja, celana kain, dan sepatu pantofel, walaupun nantinya semua itu akan diganti dengan seragam kerja dan sepatu kerja yang seragam juga.

Mendengar ucapannya tersebut, saya jadi teringat dengan cerita Abu Nawas di atas dan artikel mengenai kesan pertama. Dalam artikel yang saya baca tersebut mengatakan bahwa pakaian merupakan salah satu yang orang perhatikan ketika bertemu untuk pertama kalinya. Rasanya seperti tidak adil jika orang dinilai melalui pakaiannya, tetapi kenyataannya orang menilai penampilan seseorang baik sengaja maupun tidak.

Semenjak kejadian itu, saya selalu memikirkan pakaian apa yang akan saya kenakan dalam pekerjaan-pekerjaan saya. Contohnya, ketika menjadi penerjemah untuk konferensi pers di hotel, saya lebih memilih batik karena audiensnya lebih banyak orang Indonesia. Untuk acara jamuan yang diselenggarakan oleh perusahaan Jepang dengan tamu yang lebih banyak berasal dari Jepang langsung, saya memilih setelan jas.

file_000
Sebagai penerjemah dalam gala dinner bersama pembeli apartemen Branz Simatupang

Dengan mengenakan pakaian yang tepat dan tidak salah kostum, hal itu ternyata membuat klien atau user saya percaya dan yakin bahwa saya akan menerjemahkan dengan benar, walaupun saya belum bekerja (baca: menerjemahkan). Lawan bicara atau audiens dari klien/user saya pun demikian. Tentunya ini juga meningkatkan kepercayaan diri saya.

Bagi klien/user, penerjemah mewakili diri mereka. Khususnya ketika dalam acara promosi atau negosiasi, lawan bicara atau audiens tidak melihat penerjemah sebagai seorang individu yang independen, melainkan sebagai satu kesatuan dari penyelenggara acara atau perusahaan yang diwakilinya. Hal ini lah yang membuat sebagian klien/user memikirkan penampilan fisik dari sang penerjemah.

Penampilan fisik yang menarik bukan berarti harus rupawan, melainkan berpenampilan yang sesuai dengan situasinya. Jangan lupa juga untuk tersenyum. Konon senyum membuat orang jauh lebih menarik daripada tidak berekspresi ketika berbicara.

Sebenarnya saya ingin seperti Mark Zuckerberg yang tidak pernah pusing untuk memilih baju apa yang dikenakannya setiap hari. Namun tidak ada salahnya juga untuk berpakaian dengan rapi sesuai situasinya.

Klien senang, saya pun menjadi percaya diri ^^

Interpreter

Menambah Populasi Penerjemah Jepang

Beberapa waktu yang lalu saya mendengar cerita bahwa ada sebuah lembaga pemerintah Jepang yang mencari penerjemah (interpreter) Inggris-Indonesia. Ketika pertama kali mendengarnya, saya pikir karena orang asingnya bukan orang Jepang. Namun ternyata yang mengejutkan adalah ternyata justru orang asingnya adalah orang Jepang!

Saya jadi teringat dengan seminar mengenai Jepang yang diselenggarakan di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Salah satu pembicaranya ketika itu membahas mengenai perbandingan pembelajar bahasa Jepang di negara-negara Asia Tenggara. Bagi saya, hasil penelitiannya cukup mengejutkan. Pembicara tersebut mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah pembelajar bahasa Jepang terbesar di Asia Tenggara. Indornsia bahkan merupakan negara dengan jumlah pembelajar bahasa Jepang terbesar ke-2 di dunia. Namun jumlah pemegang sertifikat JLPT N1-nya jauh di bawah Thailand dan Vietnam. 

Secara tidak langsung hasil penelitian tersebut berdampak pada cerita di awal. Sedikitnya pembelajar bahasa Jepang yang menguasai bahasa Jepang dengan baik tentunya mempengaruhi jumlah penerjemah bahasa Jepang-Indonesia. Walaupun JLPT bukan alat untuk mengukur kemampuan dalam melakukan penerjemahan, setidaknya hal itu dapat menunjukkan seberapa baik penguasaan bahasa Jepang-nya. Tanpa menguasai bahasa Jepang yang baik, sudah tentu akan sulit untuk menjadi penerjemah yang baik.

Secara pribadi saya senang karena saat ini sudah cukup banyak akses untuk dapat mendengar bahasa Jepang. Mulai dari sekadar salam di restoran Jepang sampai saluran khusus Jepang di televisi berbayar. Saya rasa hal ini dapat menambah “kepekaan” akan bahasa Jepang. Tiket pesawat ke Jepang yang semakin murah dan berlakunua bebas visa bagi pemegang e-paspor juga membuat orang Indonesia semakin mudah untuk mengunjungi Jepang.

Kembali ke masalah penerjemah bahasa Jepang. Saya pribadi tentunya ingin orang Jepang menggunakan penerjemah Jepang-Indonesia, bukan Inggris-Indonesia. Untuk itu perlu dimulai dari menambah populasinya terlebih dulu, khususnya populasi penerjemah freelance. Semakin banyaknya populasi dapat melahirkan persaingan sehingga dapat memunculkan keinginan untuk meningkatkan kemampuan dalam penerjemahan agar dapat terus bersaing.

Semoga ke depannya akan semakin banyak penerjemah bahasa Jepang-Indonesia yang berkualitas, agar “lahannya” tidak diambil oleh penerjemah bahasa asing lain.