Kemajuan teknologi sangat membantu agar orang tetap dapat “bertatap muka” walaupun melalui dunia maya. Saya sudah menggunakan Skype sejak masih kuliah di Jepang. Kecepatan internet yang masih terbatas pada saat itu memang tidak dapat menampilkan video yang jernih, khususnya ketika melakukan panggilan ke Indonesia. Namun, tetap saja sudah terasa luar biasa pada saat itu.
Ketika itu, sama sekali tidak terpikir bahwa nantinya akun Skype tersebut akan digunakan juga dalam pekerjaan. Satu hal yang saya syukuri adalah tidak membuat akun dengan nama yang “alay”. Pada saat awal-awal bekerja sama dengan agensi luar negeri, cukup sering komunikasi dilakukan menggunakan Skype. Namun, fitur yang lebih sering digunakan adalah fitur chat dibandingkan video call. Beberapa kali juga menggunakan fitur panggilan audio untuk virtual meeting dengan agensi dan user.
Sejak pandemi Covid-19 dan adanya himbauan untuk bekerja di rumah (WFH), bertambahlah aplikasi telekonferensi yang saya gunakan. Selain Skype, saat ini saya menggunakan Hangout dan Zoom. Aplikasi Hangout biasanya saya pakai untuk melakukan kuliah jarak jauh dengan mahasiswa saya. Sedangkan untuk pekerjaan, saat ini kebanyakan user meminta untuk menggunakan Zoom. Sejauh ini belum ada kendala yang berarti. Internet yang digunakan stabil sehingga kualitas suara maupun videonya bagus.
Hmm, apakah nantinya akan ada aplikasi lain lagi yang akan nge-tren?
Ada segmen Profil CEO dalam Harian Kompas edisi Senin, 18 Maret 2019 menampilkan Presiden Direktur Astra Grup Prijono Sugiarto yang bercerita mengenai perusahaan perlu adaptif, trengginas, dan inovatif agar mampu menghadapi tantangan. Beliau mencontohkan Astra yang tadinya memiliki porsi bisnis otomotif sebanyak 90% pada tahun 2001, kini menjadi sekitar 39%. Saya juga pernah mendengar langsung mengenai perubahan yang dilakukan oleh Fujifilm setelah bisnis film foto tidak lagi laku dengan semakin populernya kamera digital dan ponsel yang dapat digunakan juga untuk memoto.
Apa yang dilakukan oleh kedua contoh perusahaan tersebut adalah dalam rangka mempertahankan bisnis untuk tetap berjalan, sekalipun tantangan yang dihadapi dan kegiatan usaha yang dilakukan berbeda dengan pada saat awal berdirinya perusahaan.
Menurut saya, dunia penjurubahasaan Jepang-Indonesia pun mengalami berbagai macam tantangan dalam 10 tahun ini. Saya masih ingat sekitar tahun 2010, ketika itu banyak perusahaan manufaktur Jepang yang ekspansi ke Indonesia. Kawasan industri sepanjang jalan tol Cikampek pun menjadi semakin ramai. Permintaan juru bahasa Jepang untuk mendampingi survei lokasi pabrik, pengurusan izin, rekrutmen karyawan baru, dan hal-hal yang berhubungan dengan pendirian perusahaan sangat ramai.
Dua atau tiga tahun setelahnya, kali ini ramai dengan isu demo pekerja. Menjadi juru bahasa di antara dua pihak yang bertantangan menjadi pengalaman tersendiri karena di luar kemampuan berbahasa, kemampuan berkomunikasi, mengontrol emosi, dan menunjukkan sikap yang tidak berpihak adalah hal yang harus dimiliki dalam situasi tersebut.
Pada tahun 2014-2015, industri otomotif Indonesia menjadi lesu. Saya juga turut merasakan dampaknya karena mendapat cukup banyak pembatalan job juru bahasa dari pabrik-pabrik Jepang karena alasan efisiensi biaya.
Namun, di saat yang bersamaan, industri pariwisata justru sangat menggeliat. Apalagi Tokyo telah ditetapkan sebagai tuan rumah Olimpiade 2020 sehingga Jepang sangat giat untuk menarik wisatawan asing datang ke Jepang. Salah satu bentuk keseriusan tersebut adalah dengan mengajak 1.000 pelaku usaha industri Jepang ke Indonesia dalam rangka melakukan promosi wisata Jepang (https://www.id.emb-japan.go.jp/news15_46.html). Konon, kegiatan tersebut menjadi ‘panen raya’ bagi para juru bahasa Jepang karena permintaannya yang banyak. Bahkan karena kehabisan ‘stok’ juru bahasa Jepang-Indonesia, siapa pun yang bisa bahasa Jepang diajak untuk terlibat dalam rangkaian acara tersebut.
Dalam 2-3 tahun terakhir ini, permintaan juru bahasa yang berhubungan dengan bisnis dan pemerintah semakin meningkat. Hal ini konon dipacu oleh berkurangnya investasi langsung, tetapi semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan SDM dan kerja sama teknis.
Bercermin dari Astra dan Fujifilm seperti pada contoh di atas, menurut saya seorang juru bahasa, khususnya juru bahasa lepas, pun harus bisa berubah mengikuti zaman. Jika dulu cukup hanya memiliki pengetahuan mengenai gemba, kini akan lebih baik jika memiliki pengetahuan juga mengenai manajemen perusahaan, khususnya bidang legal dan akuntansi. Pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah, baik Indonesia dan Jepang juga sebaiknya dimiliki agar dapat membaca tren perubahan atau tantangan yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Bagaimana pun juga, pada akhirnya menjadi juru bahasa lepas sama dengan melakukan usaha. Sebuah usaha yang dilakukan secara profesional oleh individu seperti halnya pengacara atau dokter praktik. Agar usahanya dapat berjalan dengan lancar, tentunya perlu membuat strategi. Salah satunya adalah dengan membaca peluang pasar dan menyiapkan pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapinya.
Istilah khusus atau senmon yogo sering kali menjadi momok bagi juru bahasa pemula. Banyak yang merasa takut untuk memasuki bidang baru karena tidak tahu istilah-istilah khusus yang biasa digunakan dalam bidang tersebut. Dalam beberapa forum di media sosial pun tidak sedikit yang meminta untuk berbagi daftar istilah khusus bagi yang memilikinya. Namun, apakah jika seorang juru bahasa memiliki daftar istilah khusu tersebut, penjurubahasaannya akan menjadi lebih baik?
Mungkin jawabannya tidak serta merta dapat dikatakan lebih baik. Memiliki daftar istilah khusus memang membantu untuk mengenai padanan kata dalam bahasa sasaran, tetapi yang sering dilupakan adalah bagaimana cara menyampaikannya dalam bahasa sasaran. Sering kali juru bahasa ‘terjebak’ dengan daftar istilah yang dimilikinya sehingga menjadi tidak fleksibel dalam penyampaiannya.
Hal yang paling penting dalam penjurubahasaan adalah menyampaikan pesan dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pesan di sini dapat bersifat eksplisit maupun implisit. Mungkin tidak akan ada masalah jika pembucara menyampaikan dalam kata-kata yang eksplisit, tetapi bagaimana jika penyampaiannya dilakukan secara implisit? Apakah mungkin seorang juru bahasa hanya ‘mengganti’-nya dalam bahasa sasaran tanpa memeduli pesan yang hendak disampaikannya?
Jawabannya tentu saja tidak. Sangat penting bagi juru bahasa untuk memahami lebih dalam dari kata-kata maupun kalimat-kalimat yang disampaikan dalam konteks tertentu. Pemahaman tersebut justru lebih penting dari sekadar menghafalkan istilah-istilah khusus. Dengan begitu, juru bahasa akan lebih fleksibel dalam menyampaikan pesan tanpa ‘terkekang’ oleh struktur bahasa maupun nuansa dalam bahasa sumber.
Bahasa Jepang adalah bahasa yang, menurut saya, dapat membuat pendengarnya mudah salah paham. Mulai dari pelafalan kata yang sama, tetapi berbeda huruf kanji sehingga maknanya berbeda, kalimat yang kadang tidak memiliki subjek atau verba, hingga onomatope yang spesifik. Kemudian, tantangannya adalah bagaimana menyampaikan hal-hal tersebut ke dalam bahasa Indonesia yang kosa katanya tidak sekaya bahasa Jepang. Inilah yang membuat juru bahasa tidak bisa mengandalkan daftar istilah saja karena juru bahasa bukanlah kamus berjalan.
Saat ini memang belum ada pelatihan penerjemahan khusus untuk pasangan bahasa Jepang-Indonesia. Memupuk pengalaman dengan menambah jam terbang menjadi jalan terbaik untuk memperbaiki diri. Akan lebih baik juga jika bertanya kepada user tentang penjurubahasaan yang kita lakukan. Biasanya, user cukup terbuka untuk memberikan masukan karena mereka memang membutuhkan juru bahasa yang mampu menyampaikan pesan dengan baik.
Alkisah Abu Nawas diundang oleh raja untuk makan di istana. Abu Nawas pun berangkat memenuhi undangan tersebut dengan mengenakan pakaian sekadarnya. Sesampainya di istana, penjaga gerbang menahannya dan menanyakan keperluannya.
“Saya datang diundang oleh raja”, jawab Abu Nawas.
“Maaf, tolong kenakan pakaian yang lebih pantas jika hendak masuk ke dalam istana”, pinta sang penjaga.
Abu Nawas pun kembali ke rumahnya dan berganti pakaian. Kali ini dia mengenakan pakaian paling bagus yang dimilikinya. Penjaga yang melihat Abu Nawas telah berganti pakaian pun puas dan mengizinkannya untuk masuk ke dalam istana.
Abu Nawas kemudian masuk ke ruang jamuan dan menunggu makanan dihidangkan. Setelah itu, dia mengambil piring yang berisi makanan tersebut dan menumpahkannya pada bajunya. Raja dan para tamu lain terkejut melihat perbuatannya.
“Apa yang kau lakukan, Abu Nawas?”, tanya sang raja.
“Aku memberi makanan pada pakaianku, wahai raja”, jawab Abu Nawas.
“Kenapa kau melakukan hal itu?”
“Karena aku diizinkan masuk ke sini setelah berganti pakaian. Itu artinya, pakaianku lah yang diundang, bukan diriku”.
————————————-
Berbeda dengan penerjemah simultan yang bekerja di dalam bilik, penerjemah konsekutif umumnya bekerja berdampingan dengan pembicaranya. Sehingga, mata para pendengar akan tertuju kepada sang penerjemah ketika dia berbicara.
Para klien atau user pun memiliki harapan agar rupa penerjemah sesuai dengan harapan mereka. Tidak jarang diantara mereka yang sejak awal telah memberitahukan persyaratan fisik yang mereka cari. Dalam beberapa forum seperti grup Facebook atau Whatsapp, ada rekan-rekan penerjemah yang mengeluhkan persyaratan seperti ini.
“Penerjemah, ‘kan, yang penting kemampuannya. Memangnya fisik berpengaruh pada kemampuan penerjemah?”
Itu adalah tanggapan paling umum ketika melihat lowongan penerjemah yang mencantumkan persyaratan fisik harus menarik.
Dulu pun saya berpikir seperti itu, hingga ada kejadian yang membuat saya berpikir ulang mengenai makna ‘fisik’ tersebut. Ketika itu saya sedang dikontrak oleh sebuah pabrik selama beberapa bulan dalam rangka persiapan ISO. Pakaian yang dikenakan di sana adalah seragam kerja. Setiap pagi para karyawannya datang dengan pakaian bebas, kemudian menukarnya dengan seragam kerja di ruang loker.
Awalnya saya datang dengan T-shirt yang apa adanya dan juga memakai sepatu kets biasa. Suatu saat salah seorang staf berkata kepada saya, “Saya perhatikan Pak Hanif selalu memakai T-shirt biasa setiap datang ke sini. Sayang, lho, pak. Saya tidak tahu berapa honor bapak, sih, tapi saya yakin honornya besar. Seharusnya bapak pakai pakaian yang lebih rapi, supaya kelihatannya pantas”.
Saya terkejut juga dengan ucapannya. Saya perhatikan staf tersebut memang selalu berpakaian rapi ketika datang. Dia selalu mengenakan kemeja, celana kain, dan sepatu pantofel, walaupun nantinya semua itu akan diganti dengan seragam kerja dan sepatu kerja yang seragam juga.
Mendengar ucapannya tersebut, saya jadi teringat dengan cerita Abu Nawas di atas dan artikel mengenai kesan pertama. Dalam artikel yang saya baca tersebut mengatakan bahwa pakaian merupakan salah satu yang orang perhatikan ketika bertemu untuk pertama kalinya. Rasanya seperti tidak adil jika orang dinilai melalui pakaiannya, tetapi kenyataannya orang menilai penampilan seseorang baik sengaja maupun tidak.
Semenjak kejadian itu, saya selalu memikirkan pakaian apa yang akan saya kenakan dalam pekerjaan-pekerjaan saya. Contohnya, ketika menjadi penerjemah untuk konferensi pers di hotel, saya lebih memilih batik karena audiensnya lebih banyak orang Indonesia. Untuk acara jamuan yang diselenggarakan oleh perusahaan Jepang dengan tamu yang lebih banyak berasal dari Jepang langsung, saya memilih setelan jas.
Sebagai penerjemah dalam gala dinner bersama pembeli apartemen Branz Simatupang
Dengan mengenakan pakaian yang tepat dan tidak salah kostum, hal itu ternyata membuat klien atau user saya percaya dan yakin bahwa saya akan menerjemahkan dengan benar, walaupun saya belum bekerja (baca: menerjemahkan). Lawan bicara atau audiens dari klien/user saya pun demikian. Tentunya ini juga meningkatkan kepercayaan diri saya.
Bagi klien/user, penerjemah mewakili diri mereka. Khususnya ketika dalam acara promosi atau negosiasi, lawan bicara atau audiens tidak melihat penerjemah sebagai seorang individu yang independen, melainkan sebagai satu kesatuan dari penyelenggara acara atau perusahaan yang diwakilinya. Hal ini lah yang membuat sebagian klien/user memikirkan penampilan fisik dari sang penerjemah.
Penampilan fisik yang menarik bukan berarti harus rupawan, melainkan berpenampilan yang sesuai dengan situasinya. Jangan lupa juga untuk tersenyum. Konon senyum membuat orang jauh lebih menarik daripada tidak berekspresi ketika berbicara.
Sebenarnya saya ingin seperti Mark Zuckerberg yang tidak pernah pusing untuk memilih baju apa yang dikenakannya setiap hari. Namun tidak ada salahnya juga untuk berpakaian dengan rapi sesuai situasinya.
Inti dari menerjemahan adalah menyampaikan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Walaupun sepertinya mudah, perbedaan budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran membuat penerjemah harus dapat menyampaikan pesan tersebut dalam bahasa yang dimengerti oleh sasaran.
Contoh kata yang sederhana tetapi memiliki makna yang dalam adalah kaizen. Istilah yang populer berkat Toyata ini sering diterjemahkan sebagai perbaikan dalam bahasa Indonesia atau improvement dalam bahasa Inggris.
Apakah ada yang salah dalam penerjemahan tersebut? Jawabannya tidak. Tetapi kemungkinan besar nuansa yang ditangkap akan berbeda dengan pemahaman orang Jepang. Bagi yang pernah bekerja di pabrik tentunya akan sering mendengar kata ini, tetapi mungkin sering juga dimarahi ketika terjadi lagi masalah yang sama padahal kaizen telah dilakukan.
Penyebabnya adalah perbedaan pemahaman mengenai kaizen itu sendiri. Orang Jepang berpikir apabila telah dilakukan kaizen, maka masalah yang sama seharusnya tidak terjadi kembali. Sementara bagi kebanyakan orang Indonesia, kaizen yang diterjemahkan sebagai perbaikan adalah yang penting tidak bermasalah lagi pada saat tersebut dan jika terjadi masalah kembali, maka cukup diperbaiki kembali.
Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa “bahasa” yang dibicarakan sudah berbeda. Contoh lainnya dalam bahasa Indonesia: Konon, jika kita bertanya tentang jarak kepada orang Jawa dan ia mengatakan “dekat” yang disertai jempol sebagai penunjuk arah, maka itu artinya memang benar-benar dekat. Namun jika mengatakan “dekat” yang disertai dengan jari telunjuk sebagai penunjuk arah, maka sebenarnya jaraknya masih cukup jauh (mohon maaf jika contohnya salah).
Jika orang Jepang yang hanya mengerti bahasa Indonesia saja, kemungkinan besar dia akan menangkap bahwa kedua “dekat” tersebut memiliki makna yang sama. Kesalahpahaman akan makna yang sesungguhnya sering sekali terjadi pada orang Jepang yang baru bisa bahasa Indonesia. Sering kalanya hal-hal sederhana seperti inilah yang membuat komunikasi terhambat.
Say pribadi meyakini bahwa salah satu fungsi penerjemah adalah menjembatani perbedaan budaya tersebut. Saya pernah menjadi juru bahasa bagi orang Jepang yang menurut saya cukup fasih bahasa Indonesia-nya. Namun ia tetap menggunakan jasa saya sebagai juru bahasa pada saat meeting atau pertemuan penting karena ia mengatakan bahwa ia sering mengalami kesulitan memahami makna sesungguhnya yang disampaikan.
Dalam hal ini, juru bahasa khususnya juru bahasa konsekutif memiliki keuntungan dibandingkan penerjemah tulisan. Selain memiliki kesempatan untuk memberikan penjelasan tambahan, dapat berdiskusi terlebih dahulu mengenai tujuan yang hendak disampaikan membuat juru bahasa dapat menyiapkan strategi penerjemahan yang terbaik bagi sasarannya.
Bagaimana pun juga, pemahaman yang baik mengenai kebudayaan yang terkandung dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran akan membuat seorang penerjemah menjadi penyampai pesan yang efektif dan tepat sasaran. Kemudian yang paling penting adalah dapat berbicara dengan bahasa yang benar-benar sama (dimengerti) kepada sasarannya.
Saat ini Jepang sedang gencar-gencarnya untuk mempromosikan teknologi yang dimilikinya ke luar negeri. Walaupun Jepang gagal bersaing dengan Tiongkok dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, hal tersebut tidak membuat perusahaan-perusahaan Jepang untuk berhenti mempromosikan keunggulan teknologinya.
Pemerintah Jepang, khususnya pemerintah daerah di tingkat prefektur (setingkat dengan provinsi di Indonesia) sangat gencar untuk membantu perusahaan-perusahaan yang ada di wilayahnya untuk melakukan promosi di luar negeri.
Metode promosi yang dilakukan adalah dengan mengadakan acara yang biasanya disebut dengan business matching. Dalam acara tersebut, pemerintah prefektur di Jepang akan membawa beberapa perusahaan unggulan di daerahnya untuk dipertemukan dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Tujuan perusahaan Jepang yang ikut serta di dalamnya bermacam-macam, ada yang hanya ingin menjual produknya saja, ada juga yang ingin mencari mitra bisnis untuk membuat perusahaan patungan di Indonesia dan ada juga yang justru mencari perusahaan Indonesia sebagai pemasok mereka.
Business matching ini tentunya tidak akan berjalan lancar jika komunikasi antara perusahaan Jepang dan Indonesia tidak berjalan dengan lancar. Seorang penerjemah yang paham akan bisnis di Jepang dan Indonesia dapat menjembatani komunikasi tersebut agar kebutuhan dari kedua belah pihak dapat diketahui oleh masing-masing.
Bagi yang membutuhkan penerjemeh bahasa Jepang untuk negosiasi bisnis, silakan untuk menghubungi saya melalui email di: me@hanifcahyono.com
Juru bahasa atau interpreter pada dasarnya terbagi menjadi 2 kategori, yaitu juru bahasa yang bekerja di perusahaan sebagai karyawan dan juru bahasa yang bekerja secara lepas atau freelance. Juru bahasa yang bekerja sebagai karyawan akan memperoleh gaji secara tetap disertai dengan tunjangan yang berlaku. Besarnya gaji juru bahasa perusahaan biasanya mengikuti kebijakan perusahaan tempatnya bekerja. Jika melihat lowongan kerja yang ditawarkan, umumnya gaji yang ditawarkan untuk juru bahasa Jepang adalah berkisar dari 4-20 juta rupiah/bulan.
Apa yang membedakan gajinya? Pada dasarnya perusahaan akan menggaji karyawannya berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya. Semakin tinggi pendidikan, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang, maka perusahaan akan mau membayar lebih tinggi dibandingkan dengan yang sebaliknya.
Banyak yang mengatakan bahwa seorang juru bahasa tidak memerlukan pendidikan yang tinggi asalkan memiliki kemampuan menerjemahkan yang baik. Namun bagaimana pun juga, perusahaan tetap akan mempertimbangkan faktor pendidikan ketika merekrut karyawan.
Jika ingin dinilai secara murni dari pengalaman dan kemampuan, maka kesempatan tersebut dapat diperoleh dengan menjadi seorang juru bahasa lepas. Tarif untuk juru bahasa lepas bervariasi tergantung dari kemampuan, pengalaman dan spesialisasinya. Umumnya tarif juru bahasa Jepang lepas adalah berkisar dari 1-5 juta rupiah/hari. Walaupun demikian, tarifnya dapat lebih tinggi jika berhubungan dengan bidang diplomasi, hukum dan kedokteran. Selain itu, juru bahasa simultan (menerjemahkan bersamaan dengan penuturnya) juga memiliki tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan juru bahasa konsekutif (menerjemahkan setelah penuturnya selesai berbicara).