Dalam penerjemahan, ada metode yang namanya metode penerjemahan setia. Metode tersebut akan menghasilkan penerjemahan yang bermakna kontekstual, tetapi struktur kalimat dan teksnya masih dibatasi oleh tata bahasa sumber.
Hasilnya, kadang-kadang terjemahan masih terlihat kaku walaupun maknanya telah diterjemahkan dengan baik. Terlepas dari struktur kalimatnya, cukup sering terjadi ‘kesetiaan’ yang berlebihan dalam penerjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Kesetiaan tersebut ditunjukkan dengan sama sekali tidak mengganti teks yang tertulis dalam bahasa Jepang. Umumnya kesetiaan tersebut dapat terlihat pada penulisan tanda baca.
Berikut ini adalah tiga ‘kesetiaan’ berlebihan yang sering ditemui dalam penerjemahan bahasa Jepang ke bahasa Indonesia.
1. Setia dengan tanda kutip Jepang (「 」)
Tanda kutip Jepang memiliki beberapa fungsi. Ada fungsi yang sama seperti fungsi tanda petik (“ “) dalam bahasa Indonesia, yaitu untuk mengapit petikan langsung, mengapit judul, dan mengapit istilah khusus. Oleh karena itu, tanda kutip Jepang pada dasarnya dapat diganti dengan tanda petik.
Namun, tergantungnya dari konteksnya, tanda kutip Jepang dapat juga dihilangkan pada saat diterjemahkan. Sebagai gantinya, padanan untuk kata-kata yang terdapat dalam tanda kutip Jepang dapat ditulis dengan huruf cetak miring atau huruf kapital pada setiap awal katanya.
2. Setia dengan tanda titik di tengah (・)
Tanda titik di tengah memiliki makna kata ‘dan’ dan ‘atau’. Konon orang Jepang sendiri juga sering tidak tahu persis makna mana yang dirujuk, tetapi biasanya lebih sering berfungsi sebagai kata ‘dan’. Ketika menerjemahkan, penerjemah harus memperhatikan dengan baik makna sesungguhnya yang dimaksud oleh tanda tersebut.
Untuk lebih amannya, bisa saja diterjemahkan dengan kata “dan/atau”. Dengan cara tersebut, apa pun makna tanda titik di tengah, akan dapat terwakili terjemahannya.
3. Setia dengan alfanumerik bita ganda
Mungkin ini adalah kesetiaan yang paling sering ditemukan dalam penerjemahan bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Alasannya adalah karena hurufnya sendiri sudah ditulis dalam huruf latin sehingga merasa tidak perlu untuk dituliskan kembali.
Contoh penulisan dengan alfanumerik bita ganda adalah seperti di bawah ini:
- sampel
- FY2020
- Tokyo 2020
Penulisan dengan cara tersebut akan membuat huruf dan angka lebih lebar dari biasanya. Alfanumerik bita ganda tidak digunakan dalam pengetikan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun tidak salah, akan lebih baik jika diketik ulang dengan menggunakan alfanumerik bita tunggal demi estetika penulisan.
- sampel → sampel
- FY2020 → FY 2020
- Tokyo 2020 → Tokyo 2020
Demikian beberapa bentuk ‘kesetiaan’ berlebihan yang sering ditemukan dalam penerjemahan bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Dengan lebih banyak ‘menyeleweng’ ke arah bahasa Indonesia, penerjemahan pun akan menjadi lebih berterima, baik secara makna maupun secara pedoman penulisan.